March 2019
Dasar-Dasar “Fundraising” untuk Startup

Fundraising atau pengumpulan dana bisa jadi salah satu bagian penting dalam sejarah perjalanan startup. Fundraising bisa jadi titik balik setelah sebelumnya startup tidak berkembang atau cenderung berada di ambang kehancuran karena kekuarangan dana. Meskipun demikian, fundraising bukan seharusnya menjadi tujuan berdirinya startup.

Sama seperti hal-hal lain dalam pengembangan startup, tidak ada sesuatu yang baku pada persiapan, proses, dan pasca fundraising. Hanya saja beberapa hal wajib diketahui minimal untuk menambah wawasan atau membantu memahami apa itu fundraising bagi startup.

Kesiapan “berbagi”

Setiap pendiri startup memiliki alasan dan tujuan khusus sebelum memutuskan untuk melakukan penggalangan dana. Ada yang memang membutuhkan untuk terus mengembangkan bisnisnya atau untuk mencapai target-target lain. Namun dengan melakukan penggalangan dana ke investor, founder harus udah rela untuk membagi equity dengan investor.
Itu juga alasan beberapa founder tetap teguh dengan bootstrapping. Tidak ada salahnya memang, toh pada dasarnya menjalankan startup tidak memiliki aturan baku. Butuh pertimbangan dan alasan yang kuat sebelum menggalang dana.

Mencari dan memilih investor

Salah satu yang berperan penting dalam proses mendapatkan fundraising adalah dengan mencari dan memilih investor. Proses pencarian ini butuh tenaga yang ekstra, terlebih startup yang dikembangkan masih berada di fase awal atau belum begitu ramai dibicarakan. Banyak investor yang tertarik dengan startup di fase ini, namun potensi menjadi salah satu hal wajib yang dipertimbangkan.
Selain menghubungi investor melalui kanal online resmi, baik itu email atau lainnya, proses mencari investor lebih efektif melalui event-event offline. Bisa melalui pameran atau bertandang ke acara-acara startup lainnya. Networking juga memiliki peran penting dalam proses mencari investor.
Event offline lainnya yang bisa dicoba adalah kompetisi atau program inkubator yang dalam beberapa tahun belakangan mulai banyak diadakan di Indonesia. Dengan mampu menembus seleksi di event-event tersebut, startup bisa lebih dekat dengan investor.
Jika bisnis Anda termasuk yang sudah banyak dikenal dan ditawari oleh banyak investor, selektif bisa jadi hal penting yang diperhatikan. Mengetahui berapa dana yang mereka suntikan, berapa besar porsi yang diminta dan hal-hal lain yang bersifat kepemilikan, dan ekspektasi mereka terhadap startup. Penting untuk menghindari kesalahpahaman di tengah-tengah perjalanan startup. Jika diperlukan, lakukan screening dengan melihat daftar portofolio dan track recordcalon investor Anda.

Tidak hanya soal pendanaan

Meski sangat erat kaitannya dengan dana, proses fundraising bagi startup bisa lebih dari itu. Biasanya investor yang baik tidak hanya menawarkan uang tetapi juga bantuan lain berupa koneksi jaringan dan pendampingan untuk akselerasi bisnis (mentoring) dan di sanalah kebutuhan sebenarnya startup tahap awal.
Modal dana mungkin terlihat seperti segalanya bagi bisnis di tahap awal, tetapi pada kenyataannya modal lain juga sangat diperlukan. Seorang founder harus bisa menentukan sikapnya mengenai hal ini. Pada proses pencarian investor, hal-hal seperti keuntungan relasi dan mentoring wajib menjadi pertimbangan. Di tahap awal kebutuhan startup tidak hanya mendapat untung tetapi juga harus berkembang (scale).
Bagaimana Baiknya Startup Indonesia Bergerak Tumbuh Menuju Seri A?

Sejak 2012, saya telah bekerja di dalam yang sering disebut “industri startup” — yang dalam konteks ini pada dasarnya berarti startup teknologi — dengan bekerja di Wooz.in sambil membangun Ohdio.FM. Lima tahun terakhir saya lewati dengan sedikit penyesalan, sepertinya ketidakmampuan diri saya adalah faktor utama yang menyebabkan kedua startup yang saya jalani belum menjadi sukses besar. Tapi ini bukan tulisan introspektif.

Berbagai versi inkubator, akselerator dan VC pendanaan awal (seed) telah datang dan pergi dalam beberapa tahun ini, begitu pula VC untuk tahap-tahap pendanaan lain. Setelah berupaya mendapatkan kontak berbagai VC dan bertemu dengan mereka dalam rentang bulanan sampai tahunan, baru saya pahami gambaran besar soal tahapan-tahapan pendanaan.
Meskipun ada beberapa program seed/alpha baru-baru ini, kebanyakan dari jaringan atau VC dari luar negeri, terhitung akhir tahun lalu, hanya ada 2-3 program inkubasi startup yang besar. Ini bukan masalah karena mengelola inkubator tidak mudah, terutama karena banyak startup yang masih polos berpikir bahwa inkubator adalah jalan pasti menuju sukses (soringgak). Lalu medannya kosong, sampai VC-VC Seri A dan seterusnya yang akan memberikan uangnya pada startup yang cerdas dan mampu.
Semenjak hari-hari awal memasuki industri startup, saya sudah sering mendengar bahwa masalah besar startup Indonesia adalah scaling up, bergerak tumbuh. Sejauh pengalaman saya sampai hari ini, hal ini masih menjadi masalah. Ada banyak faktor yang memberi efek negatif terhadap pergerakan tumbuh, sehingga saya asumsikan ini adalah masalah tingkat industri, dan bukan hanya persoalan dengan para founder (tapi saya akui, untuk saya sendiri, ini menjadi persoalan).
Jadi, ada jalur yang putus antara tingkat seed/incubator sampai kantong-kantong uang di Seri A (yang tidak seseksi kedengarannya, karena biasanya investasi hanya akan berkesinambungan apabila kinerja startup tersebut dianggap baik pada KPI yang berdasarkan data). Program-program seperti Gerakan 1000 Startup, Telkomsel NextDev dan yang lainnya, membantu orang untuk membentuk kerangka berpikir yang sesuai untuk membangun dari ide sampai proses bisnis (dan ya, penekanannya pada eksekusi secara bisnis, bukan programming). Setelah itu, semuanya terserah Anda, punya uang maupun tidak dan siap atau tidak untuk menghasilkan uang, sampai Anda dapat berbicara lagi pada VC tingkat Seri A.
Supaya jelas: VC itu cari uang. Mereka menghasilkan uang (di atas kertas) dari peningkatan nilai pemegang saham dengan berinvestasi pada bisnis risiko tinggi, dengan harapan saham tersebut suatu hari dapat dijual dengan nilai berkali-kali lipat, atau bahkan pada harga-harga bursa saham. Ini sebabnya seed VC akan lebih melihat pada foundernya ketimbang bisnisnya, karena pada akhirnya ini sebuah pertaruhan terhitung.
VC Seri A biasanya hanya akan investasi ke startup yang sudah memenuhi hal berikut:
  • Ada pasar cukup luas yang siap menerima produk/jasa, dengan data angka yang jelas
  • Siklus bisnis yang sudah matang: proses dari akuisisi pelanggan sampai penjualan perlu sampai pada tingkat sudah ada biaya akuisisi pelanggan, dan tinggal masalah “nambahin bensin ke mesin”.
  • Diutamakan pasar dengan kompetitor lain atau bisnis yang mirip di pasar lain, yang memberikan validasi tambahan pada model bisnisnya
  • Tren startup saat ini. Ini bukan sekedar mengikuti “selera zaman”, tapi terkait dengan tahap investasi selanjutnya dan potensi exit (penjualan saham secara keseluruhan). Makin banyak pihak yang tertarik pada sebuah industri, makin tinggi kemungkinan exit.
Pasti banyak contoh yang tidak mengikuti prinsip-prinsip di atas, tapi ini merupakan kesimpulan dari berbagai pertemuan dan diskusi saya dengan berbagai VC dalam upaya menggalang dana investasi.
Nah bagaimana caranya untuk bergerak dari teknologi yang terbukti, ke siklus bisnis yang dapat berulang, dan bergerak tumbuh sampai layak mendapatkan Seri A?
Sepertinya ini masalah dengan beberapa startup di Indonesia. Mungkin tidak cukup mentor atau jaringan untuk membantu ribuan startup yang ada di Indonesia, dan tidak banyak VC mau investasi di tahap pra-Seri A, yang pada akhirnya sama dengan bertaruh pada investasi seed, tapi dengan uang lebih banyak (sehingga risiko untuk tidak balik modal lebih tinggi). Banyak startup-startup yang sudah bertahan dari tahun-tahun awalnya, beralih menekankan pemasukan ketimbang pertumbuhan. Tidak ada masalah dengan itu, hanya saja, perusahaan-perusahaan ini tidak akan tumbuh dengan cepat.
Di sisi lain, beberapa VC telah menemukan cara untuk memanfaatkan dana VC untuk investasi ke real estate — melalui jaringan co-working space. Ini baik untuk para VC, tapi dana yang bisa diakses untuk perusahaan lain yang membutuhkan pertumbuhan jadi berkurang.
Jadi, bagaimana alternatif jalan keluarnya? Mari kita diskusi ide.
Tips Mencari Engineer untuk Startup Tahap Awal

Tim engineer yang solid dan berkualitas adalah salah satu kunci utama perusahaan teknologi. Tanpa mengurangi peran penting tim di bagian lain, tim engineer merupakan nafas penting perusahaan teknologi. Nama-nama seperti Go-Jek, Grab, Tokopedia, Bukalapak dan startup populer lainnya di Indonesia pasti memiliki tim yang solid. Mereka dibangun dan dikembangkan dengan kultur masing-masing untuk membawa pertumbuhan dan inovasi.

Membangun tim engineer bukanlah perkara mudah. Terlebih jika startup masih dalam tahap awal dan membutuhkan banyak usaha. Merekrut developer merupakan tindakan krusial. Satu kesalahan bisa mendorong “kapal” karam lebih cepat, bahkan sebelum berlayar.
Berikut ini adalah persiapan-persiapan dalam merekrut engineer atau developer. Tidak hanya untuk mendapatkan yang terbaik, tetapi mendapatkan yang sesuai dengan kebutuhan.

Mencari sambil melihat ke dalam

Sudah menjadi rahasia umum banyak perusahaan yang mengeluhkan kualitas developer atau engineer di Indonesia. Alasan yang sering dimunculkan adalah kurikulum pendidikan tinggi yang masih belum sesuai dengan kebutuhan industri. Sebagai perusahaan baru, mencari engineerdengan kualitas mumpuni adalah soal memenuhi kebutuhan perusahaan. Tidak hanya soal gaji, tetapi juga mengenai tim.
Jadi sebelum mencari dan memfilter kualitas kandidat yang ada, alangkah baiknya untuk menengok ke dalam. Bagaimana nanti bisnis mampu mengelola talenta ini dengan baik. Sudahkan bisnis memiliki kultur yang baik untuk belajar dan berkembang. Jangan sampai ketika berhasil mendapat kandidat terbaik mereka malah merasa sia-sia karena karier mereka tidak berkembang. Apa saja yang bisa ditawarkan perusahaan untuk mendapatkan talenta yang berkompeten.

Kanal lowongan kerja

Sekarang ada banyak kanal lowongan pekerjaan yang bisa digunakan untuk mencari talenta. Namun untuk kasus startup baru ada beberapa alternatif yang bisa dilakukan. Salah satu caranya adalah melalui komunitas.
Di Indonesia komunitas developerprogrammer atau engineer sudah banyak berkembang. Banyak acara meetup, gathering atau talkshow yang diselenggarakan oleh dan untuk para developer. Forum atau grup di media sosial juga menjadi salah satu kanal paling banyak digunakan komunitas untuk berkomunikasi.
Founder atau co-founder yang memiliki latar belakang teknis bisa langsung masuk dan bergabung dengan komunitas. Di komunitas ini founder bisa mencari kandidat engineer atau developer. Jadi tidak hanya soal skill, founder bisa langsung menyaksikan bagaimana kepribadian kandidat.
Cara lain yang banyak dianjurkan adalah menyembunyikan lowongan pekerjaan di tempat yang hanya mungkin dilihat oleh mereka yang benar-benar teknis. Misalnya menyembunyikan lowongan pekerjaan di custom HTTP header atau menuliskannya di log console javascript. Cara ini biasanya akan menyaring mereka yang menggunakan produk sekaligus mereka yang memperhatikan secara teknis bagaimana produk dibangun.
Tips Mencari Engineer untuk Startup Tahap Awal
Tips Mencari Engineer untuk Startup Tahap Awal

Menulis kode

Untuk menjamin kualitas engineer dari mana pun ia mengajukan pendaftaran mengujinya dengan menulis kode adalah kewajiban. Beri mereka permasalahan dan biarkan mereka menyelesaikannya dalam waktu satu hingga dua jam.
Selain memberikan kasus untuk diselesaikan, menguji calon developer bisa dilakukan dengan cara code pairing atau mensimulasikan kerja dengan tim engineer yang ada. Selain mengetahui sejauh mana skill kandidat tersebut, code pairing juga memiliki fungsi untuk mengetahui styleatau bagaimana cara kandidat menggunakan tools yang ada.
Tips Menggalang Dana untuk Startup Pemula

Saat startup baru didirikan, hal yang menjadi perhatian pendiri startup adalah bagaimana caranya mendapatkan tambahan modal. Modal awal bisa dari kocek sendiri, teman, atau keluarga, tetapi ada masanya ketika perusahaan membutuhkan kapital yang lebih besar dan para pendiri mulai membidik dana dari investor. Investor yang biasanya terlibat di proses pendanaan awal bertipe venture capital (VC).

Tidak mudah bagi sebuah startup untuk bisa langsung mendapatkan tambahan modal. Di sisi lain, pihak investor juga tidak mau sembarangan memilih startup untuk diinvestasi. Ada beberapa poin yang mereka tentukan dan wajib untuk diperhatikan.

Traksi dan pertumbuhan

Salah satu cara mengetahui apakah startup sudah waktunya melakukan penggalangan dana tahapan awal adalah berdasarkan traksi dan pertumbuhan positifnya. Untuk itu pastikan startup telah memiliki traksi, telah memiliki jumlah pengguna yang cukup besar, dan tervalidasi model bisnisnya.
“Menurut kami, saat yang tepat untuk melakukan fundraising adalah pada saat startup itu terbukti menghasilkan traksi yang signifikan pertumbuhannya. Memang jika dilihat dari data permintaan yang masuk ke RenovAsik cukup lumayan yaitu bisa sekitar 5-8 permintaan yang ingin mengajukan renovasi setiap harinya, namun banyak kendala dari klien yang masih menjadi pekerjaan rumah besar kami untuk bisa disolusikan sampai tuntas, sehingga akan lebih banyak project deal yang bisa kami dapatkan,” kata Founder & Chief Strategy Officer RenovAsik Indra Setiawan.
Ketika traksi sudah mulai diperoleh, hindari memberikan informasi yang kurang akurat kepada calon investor. Jangan ditambahkan secara sengaja guna menarik perhatian mereka. Berikan informasi yang benar, sesuai dengan traksi yang memang sudah didapatkan.
Hal ini, menurut Analyst East Ventures Devina Zhang, bisa diketahui secara langsung oleh investor saat proses due diligence, ketika semua data akan dipelajari. Jadi hindari mengembangkan angka-angka karena investor pada akhirnya akan mengetahuinya.
“Jangan pernah memberikan informasi yang tidak benar soal pertumbuhan dan traksi startup. Ceritakan prestasi dan pencapaian yang telah diraih oleh startup. Informasikan juga kegagalan yang telah terjadi, dengan demikian investor mengetahui dengan benar kondisi startup,” kata CMO KoinWorks Jonathan Bryan.

Tentukan dana yang dibutuhkan

Hal lain yang wajib diperhatikan adalah menentukan sejak awal berapa jumlah dana yang dibutuhkan startup untuk mulai menjalankan bisnis. Meskipun banyak startup memulai usaha secara bootstrap, ketika produk mulai berkembang dan traksi sudah cukup besar, tambahan kapital dengan nominal yang besar mungkin diperlukan oleh startup. Untuk itu tentukan berapa jumlah uang yang diperlukan, untuk apa saja dana tersebut digunakan, dan berapa lama dana tersebut bisa disimpan.
VC seperti East Ventures tidak memiliki formula yang pasti untuk kalkulasi pemberian dana dan pembagian saham startup. Semua tergantung dari beberapa faktor, seperti jumlah dana yang diinginkan startup, performa startup, dan proyeksi masa depan. Saham yang kemudian didapatkan perusahaan akan diklaim tergantung kesepakatan dengan startup terkait.
Sementara bagi Venturra Discovery, normal dilution untuk putaran pendanaan awal biasanya akan diambil sekitar 20-25% untuk setiap startup.
“Semuanya memiliki harga, hanya saja berapa harga yang menjadi masalah. Penting untuk memahami harapan [baik dari Anda dan investor]. Jumlahnya harus masuk akal dan menunjukkan nilai pendiri, gagasan, bagaimana Anda dapat menghasilkan uang bagi investor,” kata Co-Founder & Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe.

Tentukan investor yang tepat

Kehadiran berbagai VC lokal dan asing yang makin bertambah membuat proses penggalangan dana seharusnya lebih mudah. Namun demikian, demi sinergi masa depan yang lebih lancar, pilih investor seperti apa yang memang relevan dengan model bisnis dan tentunya cocok dengan Anda sebagai pendiri startup. Sangat penting untuk melakukan riset, mengumpulkan informasi, hingga melakukan pertemuan secara informal dengan investor yang relevan.
“Pelajari perbedaan-perbedaan dari investor dan coba pahami apa yang mereka inginkan dalam portofolio / investasi mereka. Pahami juga profil individual dari VC yang disasar, terutama GP (General Partners). Temukan kesamaan atau kepentingan bersama antara Anda (dan perusahaan Anda) dan investor yang Anda tuju,” kata Jefrey.
Buatlah daftar investor yang akan ditemui, termasuk rincian sebanyak mungkin tentang investor tertentu (perusahaan, lokasi, dan jumlah investasi). Nantinya akan terlihat investor yang relevan berdasarkan investment sizeinvestment stage, pengalaman di industri perusahaan, begitu juga lingkup geografi mereka.
“Ada banyak cara untuk menjangkau investor, cara terbaik adalah melalui perkenalan dengan seseorang yang diketahui investor. Jika tidak, Anda selalu dapat menjangkau investor melalui situs mereka, atau bahkan Linkedin,” kata Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.
Menurut Jefrey, cobalah menjalin perkenalan di awal dengan baik secara langsung. Hindari penggunaan email atau langsung menghubungi melalui telepon.
“VC menerima ratusan proposal / pitch deck setiap bulannya dan salah satu cara terbaik untuk unggul [stand out] di antara tumpukan tersebut adalah dengan cara diperkenalkan oleh orang yang kenal dengan GP atau tim dari VC tersebut. Referral is always a good way to be prioritized.”

Presentasi dan “elevator pitch”

Saat pertemuan sudah dijadwalkan, proses selanjutnya adalah presentasi atau yang biasa disebut dengan “pitching“. Secara umum, Anda akan diminta mempresentasikan materi yang berisi gambaran umum dasar perusahaan (produk, tinjauan industri, ukuran pasar, dan lainnya).
Deck ini akan menjadi buku panduan pendiri startup untuk memandu investor melalui pertemuan pertama, jadi buatlah dek tersebut secara terstruktur, sederhana namun kaya akan detail penting yang ingin Anda tonjolkan.
“Kami sangat percaya akan motto ‘founder first’, yang berarti bahwa pendiri startup yang baik tentunya akan menghasilkan produk yang baik, juga mempertimbangkan potensi pasar. Dengan demikian, pendiri yang memiliki latar belakang dan keahlian yang tepat memiliki poin bonus,” kata Devina.
Penting bagi startup menyiapkan bahan, proposal, hingga materi presentasi saat pitchingberlangsung. Menurut Chairman dan Pendiri Gorry Holdings William Susilo, pastikan mempersiapkan pitch deck yang mudah dibaca, termasuk masalah apa yang sedang diselesaikan. Hal-hal utama harus mencakup seberapa mendesak masalah tersebut, ukuran pasar, model bisnis, model pendapatan, produk, alokasi dana, daya tarik dan profil pendiri.
“Persiapkan dengan lengkap traksi bisnis. Pastikan hal tersebut sejalan dengan persyaratan setiap tahap investasi. Misalnya MVP tidak cukup untuk pendanaan Seri A, sementara itu mungkin cukup untuk putaran seed,” kata William.
Menurut Raditya,saat pitching berlangsung sebaiknya pendiri startup tidak bersikap defensif ketika investor mengajukan pertanyaan sulit. Jangan ragu untuk memperlakukan sesi pitchingseperti percakapan kasual. Semua pertanyaan yang diajukan investor mengenai perusahaan Anda seharusnya bisa dijawab.
“Walaupun startup Anda baru jalan tiga bulan misalnya, dengan data kami bisa melihat apakah founder mempunyai kemampuan eksekusi bisnis yang mumpuni. Banyak juga hal lain juga yang harus diperhatikan, seperti kemampuan founder, market size, product building capability,executional capability, dan lainnya,” kata Raditya.
Cara Startup Melakukan Kegiatan Pemasaran

Dalam edisi #SelasaStartup pertama di tahun 2018, DailySocial mengundang CMO kumparan Andrias Ekoyuono untuk berbagi pengalaman dan hal-hal yang baiknya dilakukan oleh startup saat melancarkan kegiatan pemasaran. Kumparan sendiri adalah sebuah platform hybrid yang menyatukan antara konten berbasis editorial dan konten komunitas (user generated content),baru meluncur awal tahun 2017 lalu, dan saat ini mengklaim telah mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dari sisi pengguna hingga revenue.

Andrias menyampaikan, media yang sarat dengan informasi beragam ini mengedepankan “people power” yang dimiliki. kumparan memulai perjalanan untuk menemukan pendekatan baru dan pola baru dalam jurnalistik modern. Konsep media sosial secara garis besar diadopsi dalam user experience kumparan.
Sebagai praktisi di bidang pemasaran bisnis, Andrias melihat masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh startup saat melakukan kegiatan pemasaran. Berikut adalah beberapa tips penting yang wajib dicermati startup, ketika melakukan kegiatan pemasaran.

Jangan terlalu fokus kepada consumer acquisition

Saat ini masih banyak kebiasaan hingga fokus yang masih kurang tepat di kalangan pemilik startup saat melancarkan kegiatan pemasaran. Salah satunya adalah terlalu fokus untuk melakukan akuisisi pengguna. Yang perlu diperhatikan sejak awal adalah talenta atau tim dari startup itu sendiri. Berikan perhatian lebih hingga penghargaan yang relevan kepada mereka, agar tim internal merasa happy dan pada akhirnya betah bekerja di startup.
“Tugas dari seorang chief di startup adalah membina relasi dengan investor, menjaga visi dan misi perusahaan dan yang terakhir dan tidak kalah pentingnya adalah mendapatkan talenta yang berkualitas,” kata Andrias.
Dalam hal ini talenta berkualitas bisa didapatkan melalui kegiatan pemasaran saat perekrutan pegawai. Lakukan kegiatan tersebut menjadi lebih istimewa, dengan aktivitas yang mampu menarik perhatian dari calon kandidat pegawai startup. Andrias menceritakan, di kumparan tidak segan untuk menyediakan tempat khusus dan kegiatan yang didukung dengan talkshow hingga hiburan kepada calon pegawai saat proses perekrutan berlangsung.
Dengan demikian untuk calon pegawai yang memenuhi kriteria akan merasa senang dan bangga ketika berhasil menjadi pegawai, sementara bagi mereka yang tidak berhasil akan mendapatkan kesan dan pengalaman berharga selama mengikuti proses perekrutan. Intinya adalah berikan perhatian lebih kepada pegawai dan calon pegawai, jika startup ingin memiliki talenta yang berkualitas.

Jangan melakukan kegiatan pemasaran saat produk akan diluncurkan

Penting bagi startup untuk bisa melakukan kegiatan pemasaran di awal, mulai dari mempromosikan melalui media sosial, hingga membentuk customer-base yang solid, sehingga pada waktunya produk siap diluncurkan, early-adopter tersebut bisa langsung menggunakan produk. Untuk itu lakukan kegiatan pemasaran secara online dan offline sejak awal dan bentuklah customer-base sebanyak mungkin.

Melakukan adopsi dan retention

Dua kegiatan ini memang saling berkaitan, namun yang menjadi penting dan wajib untuk dilakukan dengan baik adalah bagaimana startup bisa mendapatkan repeat order dari pelanggan atau dengan sukses mendapatkan retention. Pada akhirnya semua bisnis ingin bisa mengakuisisi banyak pelanggan di awal, namun pendapatan yang ideal adalah ketika pelanggan yang loyal bisa didapatkan, melalui adopsi di awal.
Hindari menggunakan istilah “market education” saat startup mulai melakukan akuisisi pelanggan. Pada akhirnya istilah tersebut hanya menjadi alasan bahwa startup tidak mampu untuk memberikan informasi yang relevan dan mudah kepada target pasar, dan bisa juga didefinisikan pasar tidak siap dengan produk yang ada.

Branding adalah story telling

Maksud dari istilah tersebut adalah bagaimana startup bisa memberikan informasi yang lengkap kepada target pasar. Apakah dengan mengedepankan kelebihan yang tidak dimiliki oleh startup lainnya, atau manfaat lebih yang bisa didapatkan oleh pengguna saat menggunakan produk dari startup tersebut. Hindari untuk menyatukan kegiatan pemasaran digital sebagai bagian dari story telling tersebut.
Ada tiga tipe pelanggan yang wajib untuk dicermati oleh startup, di antaranya adalah tipe pelanggan yang membicarakan produk startup Anda, pelanggan yang mempromosikan produk, hingga pelanggan yang membantu startup menjual produk tersebut (referral). Lakukan pendekatan yang tepat kepada masing-masing pelanggan tersebut. Meskipun tidak bisa dilakukan secara langsung kepada semua, namun dengan prioritas yang telah ditetapkan startup, proses tersebut bisa dilakukan demi mendapatkan hasil yang memuaskan.
Strategi Exit Startup Bisa Dipikirkan Sejak Awal

Ada banyak diskusi seru ketika membicarakan strategi exit untuk para startup. Ada beberapa ‘aliran’ exit yang bisa dipilih dalam menjalankan startup. Ada yang bertujuan untuk exit dengan IPO, ada yang exit dengan M&A (merger and acquisition), dan ada pula yang memiliki pandangan tidak akan exit dan mengembangkan terus startup yang dijalaninya.

Seharusnya tidak ada yang salah dengan beberapa pandangan yang disebutkan di atas selama dijalani dengan profesional. Exit bagi startup seharusnya dijalankan atau dipilih bukan tanpa alasan. Memilih exit juga bukan berarti keluar dari medan perang dan lari dari tanggung jawab. Semua dijalankan sesuai strategi yang dibutuhkan startup.
Salah satu topik yang menarik untuk disimak di ajang Echelon Asia Summit 2016 yang diadakan di Singapura beberapa waktu lalu adalah soal exit untuk startup. Panelis yang hadir adalah Head of Media & Technology Asia Tenggara Goldman Sachs Andy Tai dan Executive Director North Ridge Partners Chris Tran. Founder & CEO, Detecq Wong Zi En menjadi moderator diskusi ini.

Kapan harus memikirkan exit

Dua pembicara ini secara garis besar memiliki pandangan yang sama bahwa strategi exit bisa dipikirkan sedini mungkin.
Andy memberikan pendapat bahwa rencana apakah akan exit atau tidak harus dipikirkan early possible ketika menyusun bisnis plan. Ia berpendapat bahwa startup yang kini bermunculan banyak yang tidak memikirkan hal ini karena lebih condong pada passion mereka dalam menjalankan startup, padahal di banyak sisi rencana exit bukan hanya bisa baik bagi founderstetapi juga bagi investor.
Sedangkan Chris memiliki pendapat bahwa startup yang sukses adalah yang para founders-nya memiliki tujuan akhir yang jelas. Pertumbuhan seperti apa yang ingin dicapai saat mengembangkan startup. Selain itu startup juga harus memperhatikan beberapa hal, termasuk growthinnovation dan talent.
Seperti yang dibahas di awal artikel, exit tak melulu berarti founders keluar dari perusahaannya dan melepaskan ke pemilik baru. Dalam proses M&A biasanya founders stay di perusahaan meski terkadang ada jangka waktu tertentu (lock).

Faktor yang harus diperhatikan dalam proses M&A

Berbicara tentang M&A, ada beberapa faktor (pandangan VC) yang bisa diperhatikan oleh para founders. Andy menyebutkan setidaknya ada beberapa hal yang bisa diperhatikan. Faktor penting untuk proses M&A adalah strategi revenue yang dimiliki startup, apakah startup itu men-disruptkondisi yang telah ada atau tidak. Sisi talent di sini pun memegang peranan penting.
Faktor lain terkait proses ‘paper works’ adalah governance right atas perusahaan tempat investor menanamkan modal. Investor memperhatikan faktor ini dalam proses M&A. Contohnya hak veto untuk menolak keputusan founders.
Andy juga menyebutkan hal menarik tentang mindset yang bisa ada di para founders. Ekspektasi mereka atas angka (harga) startup mereka biasanya lebih tinggi sedangkan biasanya investor lebih skeptis pada proyeksi keuangan dari startup. Perbedaan mindset ini tentunya perlu diperhatikan saat founder menargetkan M&A, karena ketidaksamaan persepsi bisa membuat proses gagal.
Pendapat lain yang senada disampaikan Chris. Menurutnya founders harus bisa memperhatikan future promises yaitu kondisi-kondisi di masa depan yang akan dihadapi oleh startup mereka. Para founders juga harus bisa memikirkan bagaimana meningkatkan valuasi saat negosiasi untuk proses M&A. Salah satu saran yang diungkapkan Chris adalah menggunakan jasa advisor atau penasihat. Ia berpendapat bahwa advisor ini bisa memberikan bantuan untuk menunjukkan valuasi yang tepat untuk startup.

Pilih IPO atau M&A

Pertanyaan di atas standar tetapi jawabannya bisa bermacam-macam. Menurut dua investor panelis ini ketika ditanya tentang memilih mana IPO atau M&A menjawab secara logika tentu saja semua tergantung kondisi dan masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Chris mengatakan bahwa M&A memiliki keuntungan salah satunya adalah prosesnya yang relatif lebih ‘mudah’ dari IPO, misalnya jangka waktu tunggu proses dan pengurusan dokumen. Dalam proses menjalaninya, M&A juga bisa dibilang lebih ‘mudah’ karena IPO berarti investor akan bertambah dari publik.
Bagaimana dengan kondisi di kawasan Asia Tenggara? Andy memberikan pendapat bahwa IPO akan lebih menantang untuk startup di kawasan ini, sedangkan M&A akan lebih masuk akal. Beberapa faktor yang yang mendukung pendapat ini adalah M&A akan menjadi sinergi agar startup bisa lebih berkembang dan proses M&A berlangsung lebih cepat.
Andy juga menambahkan bahwa penting bagi para founders untuk memikirkan skala perusahaan saat menjalani startup mereka, apakah mereka akan menargetkat untuk IPO, M&A, atau tetap menjadi perusahaan tertutup.

Big Exit

Cara yang tepat dalam menjalankan startup adalah dengan memecahkan masalah. Demikian juga dengan proses M&A. Bagi founders yang memang berencana untuk menempuh jalan ini, Chris memberikan saran bahwa founders harus melihat sisi konsumen dan mencari pemecahan masalah. Untuk proses M&A bisa juga melihat pesaing dan memberikan pemecahan masalah yang lebih baik.
Startup yang bisa diakuisisi juga bukan hanya yang bisa mendapatkan user baru dan lebih besar dari pesaing, tetapi bisa pula mencuri dari layanan yang lebih besar dan sudah ada terlebih dahulu. Akusisi bisa ditempuh oleh perusahaan besar atas perusahaan yang ‘disruptive’ ini untuk mempercepat pertumbuhan pasar.
Saran lain yang diberikan oleh Chris adalah start with end mind, menentukan secara tepat dari awal siapa konsumen dari layanan startup serta bekerja sama dengan advisor.
Memikirkan exit bukan berarti ‘menyerah’ sebelum bertanding. Founders yang memikirkan strategi akan seperti apa perusahaannya di masa depan adalah mereka yang memiliki visi dan tahu apa yang ingin dicapai dengan startup-nya.
Beberapa startup membutuhkan exit (biasanya berupa M&A) untuk urusan strategis. Perusahaan yang mengakuisisi biasanya memiliki dana, cakupan akses pasar yang lebih luas, dan bisa membawa startup tersebut untuk berkembang lebih besar lagi.
Dalam perkembangan dunia digital yang serba cepat ini, ada banyak cara yang bisa ditempuh oleh startup, apakah stay private, IPO atau M&A. Bisa jadi, menjadi exit agnostic dan selalu melihat para perkembangan internal (pertumbuhan pengguna, laporan keuangan, burn rate) dan memperhatikan perkembangan eksternal (konsisi pasar, tren, persaingan) adalah cara yang tepat. Tidak ada formula yang sama untuk setiap kondisi tetapi cerdas membaca pola dan menelaah informasi adalah kunci.
4 Mitos Saat Menjadi Founder Startup

Dibalik gemerlapnya memangku posisi sebagai seorang pemimpin perusahaan, ada banyak mitos yang berseliweran di telinga orang-orang. Ada yang mengatakan CEO itu memiliki banyak kebebasan, harus pintar, bisa datang kantor kapan saja, dan masih banyak lagi. Benarkah demikian?

Acara diskusi #SelasaStartup yang diselenggarakan DailySocial setiap pekannya kali ini menghadirkan CEO Wooz.in Ario Tamat untuk berbagi pengalaman pribadinya selama menjadi CEO. Berikut rangkumannya:

1. Punya ide bagus, pasti bakal kaya raya

Banyak yang menyebut, startup itu lahir dari ide. Itu memang benar, namun menurut Ario bukan berarti setiap orang yang punya ide pasti jadi orang kaya. Ario berpandangan, ide itu justru tidak berarti tanpa ada langkah eksekusi, ide brilian sekalipun. Terlebih selama beberapa tahun belakang, tren mendirikan startup mulai marak di Indonesia.
Ini yang menyebabkan semua orang berlomba-lomba mencari ide bagus untuk mendirikan startup, namun akhirnya tidak bisa bertahan lama karena eksekusinya yang kurang tepat.
“Ide saja tidak cukup, yang terpenting bagaimana eksekusinya. Sebab semua orang itu punya ide, maka perlu riset yang bagus agar tepat bagaimana mengeksekusi. Apalagi saat ini VC mulai memilih-milih tidak ingin sembarang investasi ke startup baru,” kata Ario.

2. Saya bangun startup karena tidak ingin kerja dengan orang lain

Semua orang banyak yang mengira, pengusaha itu memulai startup karena tidak ingin bekerja di bawah orang lain. Perkiraan itu salah. Menurut Ario, justru orang yang ingin mendirikan startup perlu merintis kariernya terlebih dahulu lewat bekerja di perusahaan lain.
Ario malah menyarankan kepada calon founder startup untuk bekerja di perusahaan yang semi/well-established sebab di sanalah banyak bekal ilmu yang bakal berguna ke depannya.
“Kalau baru lulus [kuliah] langsung mendirikan startup itu omong kosong. Kalau belum kerja dengan orang artinya Anda belum kerja sebenarnya. Butuh banyak waktu untuk belajar banyak hal mengenai organisasi, sistemnya, apalagi menghitung profit & loss. Mengatur cashflow terlihat mudah, namun sebenarnya tidak.”

3. Bangun startup, langsung cari investor

Startup memang menjadi sasaran empuk bagi para investor, baik itu angel investor maupun modal ventura. Namun, dengan banyaknya startup yang bertebaran secara tidak langsung membuat investor jadi lebih selektif. Risiko gagalnya pun jadi makin besar.
Ario menyarankan kepada founder untuk menggunakan cara cepat yakni membuat model bisnis yang bisa menghasilkan uang sejak pertama kali berdiri. Dengan cara ini diyakini bisnis akan lebih dapat bertahan lama karena tidak bergantung pada bantuan sokongan dana dari orang lain.
“Saran saya sebaiknya ditunda dulu [cari investor] semundur mungkin, atau sampai mereka yang datang ke startup Anda. Sebaiknya benerin dulu proses bisnisnya, cari aman dengan membuat bisnis yang bisa menghasilkan profit. Gratis sebaiknya jadi strategi, bukan komponen utama. Pastikan bisnis jalan terlebih dahulu.”

4. Banyak waktu luang

Karena startup itu dibangun oleh diri sendiri, bukan berarti Anda memiliki banyak waktu luang tidak harus kerja. Hal ini belum tentu berlaku bagi startup yang sudah memiliki manajemen yang terorganisir. Untuk startup dengan tim yang terbatas, tentunya distribusi pekerjaan bakal tidak merata. Kesempatan untuk mengalihkan pekerjaan pun jadi tidak terasa mungkin.
“Urusan printil-printilan memang kecil, namun kalau banyak itu kan tetap makan waktu luang.”
Terkait kebebasan waktu luang, juga ada kaitannya dengan berpakaian. Banyak yang mengira bekerja di perusahaan startup itu memiliki gaya busana bebas, apalagi bagi seorang CEO. Di satu sisi, menurut Ario, hal itu benar tapi sangat tergantung pada kondisi.
Menurutnya CEO itu menjadi panutan bagi timnya, sehingga cara berpakaiannya diharapkan bentuk cerminan dari perusahaan itu sendiri.
“Berpakaian sesuai kebutuhan saja, bukan berarti berfantasi pakai kaus dalam saja seperti orang bule. Realita tetap bakal mengikuti kebutuhan gaya berpakaian seorang CEO,” pungkas Ario.
Masalah Terbesar Startup adalah “Memahami Masalah”

Sebagai venture capitalist, setiap tahun kami me-review ratusan proposal rencana bisnis startup yang mengajukan kebutuhan investasi dan bertemu dengan sebagian dari mereka. Saya memperhatikan ada kelemahan yang mendominasi sebagian besar rencana bisnis mereka itu, yaitu memahami problem.

Seperti salah satu faktor yang saya sebut di tulisan saya sebelumnya, memulai dari problem adalah salah satu karakteristik wirausahawan modern. Sayangnya seringkali para startup bahkan tidak memulai dengan tepat. Berikut ini adalah berapa hal yang bisa menjadi panduan ketika memahami problem.

Problem itu harus nyata

Seringkali startup datang dengan paparan problem yang tidak benar-benar dirasakan ataupun yang tidak termasuk dalam prioritas calon konsumen. Ini bisa terjadi karena kurang memahami insight dari sisi calon konsumen.
Misalnya saya sering mendengar soal “toko memerlukan sistem administrasi keuangan” dari startup yang membuat POS system. Padahal calon pembeli produk POS system adalah pemilik toko dan mereka paling malas berhubungan dengan administrasi. Masalah utama bagi pemilik toko adalah meningkatkan pendapatan atau laba, sehingga semua solusi haruslah berujung peningkatan pendapatan atau laba.
Seringkali juga startup datang dengan menganggap ketiadaan fitur sebuah produk yang tersedia di pasar merupakan sebuah problem.
“Kami melihat produk A, tapi tidak dilengkapi fitur X. Maka kami buat produk B yang seperti produk A tapi dilengkapi fitur X,” kata mereka. Padahal belum tentu hal tersebut merupakan problem penting bagi konsumen.

Problem itu dialami oleh market yang cukup

Startup harus mampu mengidentifikasi bahwa problem tersebut dialami oleh market yang cukup untuk disasar nantinya. Mereka harus mampu memberi gambaran spesifik tentang siapa dan berapa banyak orang yang mengalami problem itu dan berapa besar nilai market secara keseluruhan.
Mereka harus mampu menggambarkan target market secara demografis, psikografis, maupun geografis. Mereka juga harus cukup realistis tentang berapa besar market yang bisa dibantu penyelesaian problem-nya. Apabila ternyata nilainya terlalu kecil, maka juga tidak menarik untuk dikembangkan menjadi bisnis.

Solusi yang tepat

Startup harus mampu memberikan produk sebagai sebuah solusi yang tepat bagi calon konsumen. Semakin mendalami problem, maka startup akan mampu memilah problem yang paling besar bagi calon konsumen dan solusinya pun biasanya makin fokus dan sederhana.
Di sini diperlukan keberanian startup untuk tidak memulai dengan solusi yang lebar, tapi fokus, serta benar-benar memperhatikan kemudahan calon konsumen dalam menggunakan dan merasakan benefit dari produk startup. Di sini pula ego orang technical juga harus ditekan, karena mungkin tidak harus menggunakan teknologi tercanggih atau juga tidak bisa menampilkan semua keahlian dalam satu solusi.
Jadi, mulailah dengan memahami problem secara sungguh-sungguh. Memahami problem merupakan bagian terbesar dari solusi. Lalu, apa problem terbesar yang menurut kalian bisa dipecahkan oleh startup?
Back To Top